ARTIKEL
PERBANKAN
Krisis perbankan di Indonesia dewasa ini tergolong
yang paling parah dan relatif termahal di dunia sepanjang abad lalu.Beban biaya
restrukturisasi perbankan nasional yang ditanggung oleh perekonomian mencapai
47% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
DUA
PENYEBAB UTAMA KEHANCURAN PERBANKAN INDONESIA YANG DIMULAI SAAT KRISIS EKONOMI
1997
§ Terlalu
longgarnya aturan perbankan,terutama sejak digulirkannya Paket Oktober 1988
(Pakto 88).Aturan ini memungkinkan langkah mendirikan bank begitu
mudahnya,sehingga dalam waktu singkat,jumlah bank menjamur.
§ Bank dan
sektor real kian terintegrasi di dalam jalinan kepemilikan seseorang atau
sekelompok orang yang sama.Keadaan ini sebenarnya tidak membawa dampak yang
terlalu negatif seandainya aturan main ditegakkan.Keadaannya semakin parah
mengingat praktik-praktik bisnis dinaungi oleh suatu sistem politik tertutup
yang otoriter dan korup. Maka,tatkala terjadi guncangan pada sendi-sendi
politik otomatis bangunan usaha,termasuk perbankan,juga turut oleng.
ANALISIS
KONDISI PERBANKAN NASIONAL TAHUN 2009
Selama periode Februari-Juni 2008 laju pertumbuhan
kredit bulanan tercatat sebesar hampir 4 persen, angka ini menurun menjadi
hanya sekitar 2 persen pada periode Juli-Desember 2008.
Memasuki 2009, pertumbuhan kredit minus 2,1 persen.
Turunnya tingkat pertumbuhan hampir bisa dipastikan juga akan turut mengerek
naik jumlah kredit bermasalah (NPL).
Penyebab dari melemahnya pertumbuhan kredit adalah
seretnya likuiditas. Satu hal yang antara lain diindikasikan dari berkurangnya
lebih dari dua kali lipat ekses likuiditas perekonomian yang disimpan dalam
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), fasilitas BI, dan fine tuning operation (FTO).
Beberapa pekan terakhir, likuiditas perekonomian
memang sedikit tertolong oleh suntikan devisa dari negara-negara yang melakukan
billateral swap agreement dengan Indonesia seperti Cina. Tambahan dana sebesar
12 miliar dolar AS juga rencananya akan dihasilkan bila komitmen ASEAN Plus 3
bisa segera direalisasikan. Berbagai suntikan devisa ini akan secara langsung
mengurangi tekanan terhadap likuiditas domestik melalui mekanisme uang inti.
Selain, suntikan dari luar, arus lalu lintas likuditas domestik juga agaknya
banyak terbantu oleh pesta demokrasi Pemilu yang kini tengah hinggar bingar
dirayakan.
Sayang, aliran likuiditas yang bertambah tidak serta
merta bisa diterjemahkan dalam ekspansi kredit. Persoalannya, krisis global
juga menyebabkan semakin akutnya segmentasi pasar perbankan domestik, yang
menyebabkan suku bunga kredit komersial sulit turun (Baca: Deviasi BI Rate dan
Suku Bunga Kredit).
Berbagai upaya terobosan yang diupayakan BI untuk
mengatasi masalah ini, termasuk upaya penciptaan satu pooling fund, belum
tanda-tanda menggembirakan. Bank masih saling enggan untuk meminjamkan dananya,
karena profil risiko masing-masing yang belum sepenuhnya transparan. Solusi
komprehensif segmentasi pasar perbankan ini agaknya harus menunggu sedikit
lagi, hingga sah diundangkannya RUU Jaringan Pengaman Sistem Keuangan yang
sampai saat ini masih berada di DPR.
Dengan berbagai masalah yang ada, tidak mengherankan
bila laju pertumbuhan kredit sepnajang 2009 secara kumulatif bakal melambat di
kisaran 15 persen persen. Begitu pula dengan perkiraan laju dana pihak ketiga
yang hanya sebesar 11 persen.
Namun, sampai sejauh ini, perlambatan pertumbuhan
kredit dan pemburukkan NPL tidak berdampak secara serius pada fundamental
sistem perbankan domestik secara keseluruhan. Secara rata-rata, perbankan
domestik masih memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio ––CAR)
yang lebih dari cukup, sebesar 17 persen. Angka ini jauh di atas angka minimal
sebesar 8 persen. Bantalan modal yang besar ini memungkinkan perbankan domestik
untuk menyerap berbagai risiko yang mungkin timbul selama 2009. Pada awal 2009,
tingkat NPL juga masih relatif terkendali di bawah 5 persen, meski sedikit
meningkat dari angka 4 persen pada akhir 2008.
Fundamental perbankan yang baik ini merupakan modal
yang sangat bernilai untuk mengarungi 2009. Tentu, pada tataran operasional
perbankan, perlu ada upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi ––yang
saat ini masih tergolong cukup rendah dimana rasio BOPO masih sebesar 80an––
serta manajemen resiko dari masing-masing bank. Sebab dari pengalaman mutakhir
yang ada, dalam kasus bank Indover dan Century, runtuhnya suatu bank kerap
disebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul bahkan kriminal.
Secara bersamaan, upaya perbaikan di skala mikro ini
perlu dibarengi oleh upaya di tataran makro berupa konsolidasi perbankan.
Konsolidasi yang kerap dilakukan melalui merger selain mengurangi keakutan
problem segmentasi pasar perbankan, juga akan mengurangi beban pengawasan
otoritas moneter.
Upaya lain pada tataran makro yang perlu terus
dilanjutkan bahkan diperkuat adalah kebijakan tata kelola yang berhatihati
(prudential regulation), termasuk dalam hal transaksi derivatif dan valuta
asing yang sudah diterapkan. Kebijakan dari BI ini adalah salah satu yang telah
menyelamatkan perbankan nasional hingga saat ini, sehingga perlu untuk
diteruskan dan jangan justru dilonggarkan.
Di samping perbaikan manajemen resiko dan tata
kelola bank, ada baiknya BI juga memberikan arahan sektoral bagi ekspansi
kredit sebagai satu petunjuk operasional perbankan. Guidance ini tentunya harus
bersifat spesifik dan berbeda pada masing-masing daerah. Pada titik ini,
kantor-kantor BI yang tersebar di hampir seluruh pelosok nusantara harus
difungsionalisasikan sebagai ujung tombang dalam memberikan arah sektoral yang
bersifat lokal.
Eksistensi perbankan Indonesia akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuannya membaca perubahan-perubahan di lingkungan eksternalnya, baik
pada lingkup nasional maupun internasional.Perbahan-perubahan yang penting
untuk dicermati adalah :
§ Perubahan
struktur dan karakter perekonomian nasional sebagai akibat dari perubahan
struktur insentif pasca-krisis.
§ penerapan
otonomi daerah.
§ fenomena
globalisasi dan regionalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar